Tiga Pilar Ideologi Muhammadiyah yang Harus Ditanamkan Sejak Dini

Oleh: Akbar Syawaludin
Tasikmalaya - Muhammadiyah bukan sekadar organisasi, melainkan gerakan Islam yang memiliki ideologi pembaruan berbasis wahyu dan akal. Dalam konteks pendidikan kader, termasuk di lingkungan pesantren, penguatan ideologi Muhammadiyah bukan sekadar hafalan nama KH Ahmad Dahlan atau simbol-simbol formal organisasi, tetapi penanaman nilai-nilai dasar yang menghidupkan semangat gerakan sejak dini.
Ideologi Muhammadiyah setidaknya berdiri di atas tiga pilar utama, yaitu: Tauhid Murni, Tajdid (Pembaruan), dan Islam Berkemajuan. Ketiganya merupakan fondasi konseptual dan praksis yang menjadikan Muhammadiyah konsisten sebagai gerakan dakwah dan tajdid sejak 1912 hingga kini.
Tauhid Murni Sebagai Dasar Gerakan dan Perjuangan
Tauhid dalam Muhammadiyah bukan sekadar keyakinan teologis, tetapi landasan pembebasan manusia dari segala bentuk penghambaan kepada selain Allah. Inilah yang disebut KH Ahmad Dahlan sebagai "memurnikan ajaran Islam dari syirik, bid’ah, dan khurafat."
Tauhid menjadi dasar bagi Muhammadiyah dalam menolak kultus individu, menentang feodalisme agama, serta mendorong keadilan sosial. Maka, dalam praktiknya, tauhid Muhammadiyah melahirkan aksi nyata seperti pendirian sekolah, rumah sakit, dan amal usaha sebagai bentuk keimanan yang membebaskan dan mencerdaskan.
“Gerakan Muhammadiyah adalah gerakan tauhid, yakni meng-esa-kan Allah dalam seluruh aspek kehidupan.” (Majelis Tarjih dan Tajdid, Himpunan Putusan Tarjih, Edisi Revisi, 2000)
Bagi santri, pemahaman tauhid tidak boleh hanya berhenti di ruang tafsir, tetapi harus menjelma menjadi keberanian berpikir mandiri dan hidup bermakna.
Gerakan Tajdid Sebagai Semangat Pembaruan yang Menyegarkan
Muhammadiyah lahir sebagai gerakan tajdid (pembaruan), bukan untuk membuat tafsir baru secara liar, melainkan untuk mengembalikan Islam kepada kemurnian Al-Qur’an dan Sunnah dengan metode berpikir rasional dan ijtihad yang terbuka. KH Ahmad Dahlan menolak kejumudan dan menyerukan agar umat Islam bangkit dari keterbelakangan intelektual dan sosial.
Tajdid dalam Muhammadiyah meliputi dua dimensi, Purifikasi (pemurnian akidah dan ibadah) dan Dinamisasi (pembaruan dalam bidang sosial, pendidikan, dan kebudayaan). Tajdid inilah yang membuat Muhammadiyah berani mendirikan sekolah modern, mencetak buku pelajaran Islam berbasis sains, dan merespons isu-isu kontemporer dengan pendekatan rasional.
“Muhammadiyah adalah gerakan tajdid, yaitu pembaruan dalam pemahaman dan pelaksanaan ajaran Islam agar sesuai dengan kemajuan zaman.” (PP Muhammadiyah, Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah, 2000)
Santri Muhammadiyah harus menjadi pelaku Tajdid di era digital yaitu, cakap berdakwah di media, kritis terhadap hoaks agama, dan produktif dalam ilmu.
Islam Berkemajuan Sebagai Visi Masa Depan Umat
Pilar ketiga adalah Islam Berkemajuan, sebuah gagasan kontemporer Muhammadiyah yang menekankan bahwa Islam bukan agama stagnan, tetapi memiliki potensi untuk membangun peradaban unggul. Islam berkemajuan mengajak umat untuk aktif dalam ilmu pengetahuan, teknologi, humanisme, dan etika global semua berakar dari nilai-nilai Islam.
Konsep ini diperkuat oleh Ketua Umum PP Muhammadiyah, Prof. Dr. Haedar Nashir, yang menegaskan bahwa Islam harus tampil sebagai kekuatan tercerahkan di tengah era yang kompleks dan penuh tantangan.
“Islam Berkemajuan adalah Islam yang memadukan iman, ilmu, dan amal; yang berorientasi pada pembebasan, pemberdayaan, dan pemajuan umat manusia.” (Haedar Nashir, Islam Berkemajuan untuk Indonesia Berkemajuan, 2016)
Dengan Islam Berkemajuan, Muhammadiyah menolak ekstremisme, menolak kebodohan, dan menolak kemunduran berpikir. Ini harus menjadi karakter santri sejak dini yang memiliki semangat ijtihad, berkepribadian terbuka, dan mampu menjadi pemimpin di masa depan.
Membangun Subjek Muslim yang Progresif dan Emansipatoris
Tiga pilar ideologi Muhammadiyah Tauhid Murni, Tajdid, dan Islam berkemajuan bukanlah sekadar slogan normatif, melainkan kerangka paradigmatik yang menuntut realisasi praksis dalam seluruh aspek kehidupan umat. Di tengah arus globalisasi dan tantangan peradaban modern, orientasi pembinaan santri seharusnya tidak lagi hanya bertumpu pada dimensi kognitif-religius, tetapi harus diarahkan pada pembentukan subjek Muslim yang progresif dan emansipatoris.
Dalam hal ini, pesantren Muhammadiyah seperti At-Tajdid memainkan peran strategis sebagai ruang produksi wacana Islam yang tercerahkan yang menolak dogmatisme, anti-intelektualisme, dan kekerasan simbolik atas nama agama. Melalui pengarusutamaan ideologi tajdid, santri diarahkan untuk tidak sekadar menjadi penerima pengetahuan (knowledge receivers), tetapi menjadi agen pembaru (transformative agents) yang sanggup melakukan praksis keagamaan yang kontekstual, rasional, dan transformatif.
Akbar Syawaludin, Kepala Badan Pembinaan Kecakapan Hidup Santri, menegaskan pentingnya pendekatan multidimensional dalam pembinaan generasi muda pesantren:
“Kami tidak hanya mendidik santri agar saleh secara personal, tapi juga cakap secara sosial dan intelektual. Ideologi Muhammadiyah memberi kami basis nilai yang kokoh untuk membentuk pribadi yang bukan hanya taat, tapi juga berpikir, bekerja, dan membebaskan,” ungkapnya.
Dalam kerangka ini, nilai-nilai dasar Muhammadiyah harus terus diartikulasikan sebagai sumber etika pembebasan, membebaskan dari syirik menuju tauhid, dari taklid menuju ijtihad, dari stagnasi menuju kemajuan. Di sinilah peran strategis pesantren yaitu melahirkan insan beriman yang bukan hanya “beragama,” tetapi menggerakkan agama menuju transformasi sosial yang adil, berkemajuan, dan berkeadaban.
Bagikan :