Membumikan Semangat Sumpah Pemuda di Pesantren At-Tajdid Tasikmalaya

“Dari pesantren, kami belajar arti persatuan. Dari Sumpah Pemuda, kami belajar arti perjuangan.”
Tanggal 28 Oktober 1928 menjadi tonggak sejarah penting bagi bangsa Indonesia. Pada hari itu, para pemuda dari berbagai penjuru Nusantara bersepakat menyatukan tekad dan jati diri bangsa melalui ikrar yang dikenal dengan Sumpah Pemuda. Momentum tersebut bukan hanya simbol persatuan, tetapi juga cermin dari kesadaran kolektif generasi muda untuk melampaui sekat suku, daerah, dan kepentingan pribadi demi satu cita-cita: Indonesia yang merdeka dan bermartabat.
Di tengah arus zaman yang terus berubah, semangat itu tidak boleh pudar. Justru, ia perlu terus dihidupkan terutama di lingkungan pendidikan dan pesantren. Bagi Pesantren Muhammadiyah At-Tajdid Tasikmalaya, memperingati Hari Sumpah Pemuda bukan sekadar seremonial tahunan, tetapi momentum untuk merefleksikan kembali peran strategis pemuda santri dalam membangun bangsa.
Pesantren Basis Pembentukan Karakter dan Kesadaran Kebangsaan
Pesantren sejak dahulu telah menjadi pusat pembentukan karakter dan moral bangsa. Di tempat inilah nilai iman, ilmu, dan amal dirangkai menjadi kekuatan moral yang kokoh. Santri tidak hanya diajarkan membaca kitab dan menegakkan ibadah, tetapi juga dilatih untuk berpikir kritis, disiplin, dan peduli terhadap masyarakat.
Dalam konteks Sumpah Pemuda, nilai-nilai pesantren beririsan erat dengan semangat yang diperjuangkan para pemuda 1928:
Persatuan dalam keberagaman sejalan dengan prinsip ukhuwah Islamiyah dan ukhuwah wathaniyah yang diajarkan di pesantren.
Perjuangan melalui ilmu dan akhlak merupakan bentuk jihad modern, menggantikan perjuangan fisik menjadi perjuangan intelektual dan sosial.
Kemandirian dan tanggung jawab mencerminkan karakter pemuda yang siap menjadi pelopor perubahan di tengah masyarakat.
Santri dan Sumpah Pemuda di Era Digital
Memasuki era digital dan globalisasi, tantangan pemuda tidak lagi hanya soal mempertahankan kemerdekaan fisik, melainkan mempertahankan jati diri, moral, dan nilai-nilai kebangsaan.
Di tengah derasnya arus informasi dan budaya global, santri memiliki peran penting sebagai penyaring nilai (value filter) dan agen perubahan (agent of change) yang berlandaskan iman dan akhlak.
Pesantren At-Tajdid mendorong para santri untuk tidak hanya cakap dalam ilmu agama, tetapi juga melek teknologi, kritis terhadap informasi, serta mampu menyebarkan nilai-nilai kebaikan melalui media digital. Dengan demikian, semangat Sumpah Pemuda menemukan bentuk barunya bukan sekadar mengangkat bendera persatuan, tetapi menyuarakan dakwah kebangsaan di ruang publik yang luas dan modern.
Membangun Indonesia dari Pesantren
Sebagaimana tema yang diangkat:
“Dari pesantren, kami belajar arti persatuan. Dari Sumpah Pemuda, kami belajar arti perjuangan.”
Kalimat ini menggambarkan bahwa pesantren bukan sekadar lembaga pendidikan, melainkan pusat pembinaan karakter kebangsaan.
Dari ruang-ruang belajar sederhana, para santri ditempa untuk memahami makna cinta tanah air sebagai bagian dari iman Dari kegiatan keseharian mulai dari kedisiplinan, gotong royong, hingga kepedulian sosial lahir semangat juang yang sama seperti yang diwariskan oleh para pemuda 1928.
Pesantren At-Tajdid meyakini bahwa masa depan bangsa bergantung pada kualitas moral dan intelektual pemudanya. Oleh karena itu, setiap santri adalah penerus api Sumpah Pemuda — generasi yang tidak hanya mencintai Indonesia dengan kata-kata, tetapi dengan karya nyata.
Menyala Abadi Semangat Pemuda
Momentum Sumpah Pemuda 2025 menjadi refleksi bersama untuk menegaskan kembali jati diri santri sebagai pemuda yang beradab, berilmu, dan beramal. Dari pesantren, semangat itu terus dijaga agar tidak redup di tengah tantangan zaman.
Dari pesantren pula, diharapkan lahir pemuda-pemuda yang berpikiran maju, berhati ikhlas, dan bertindak bijak, sebagaimana cita-cita luhur para perintis bangsa.
“Pemuda beriman adalah cahaya bangsa. Dari pesantren, kita mulai menyalakan Indonesia.”
Redaksi: Akbar Syawaludin
Bagikan :


